AdvetorialKutai TimurParlementerTerkini

Kedepankan Asumsi Sepihak, Basti : PT MPI Kutim Harus Tanggungjawab

JEJAKKHATULISTIWA.CO.ID, Kutai Timur – Gejolak permasalahan PT Multi Pasifik Internasional (MPI) yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Kaubun, Kutim ibarat api dalam sekam. Pasalnya terdapat sembilan permasalahan yang di laporkan karyawannya, memacu dari adanya pelaporan itu Wakil Ketua Komisi A Basti Sangga Langi meminta agar PT MPI mempertanggungjawabkan tindakannya yang hanya mendengarkan laporan sebelah pihak.

“Mereka (PT MPI) inikan lepas tanggung jawab terhadap beberapa permasalahan di lapangan dan pemecatan secara sepihak makanya dilaporkan oleh Serikat Buruh Borneo (SBB) kesini,” ujar Basti usai hearing dengan SBB, PT MPI, dan karyawannya.

Dipaparkannya, akar permasalahan PT MPI dengan karyawannya mulai dari pemecatan dengan dituduh melakukan asusila, fasilitas kesehatan yang kurang memadai, BPJS Kesehatan, fasilitas pekerjaan tidak lengkap, hingga pada persediaan air bersih yang tidak maksimal.

Apalagi, kata Basti, istilah Pemutusan Hubungan Kerja atau yang sering disingkat dengan kata PHK sudah tidak lazim lagi didengar. Namun, PHK sering kali menimbulkan keresahan khususnya bagi para pekerja. Bagaimana tidak? Keputusan PHK ini akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup dan masa depan para pekerja yang mengalaminya dan keluarganya.

Contohnya, lanjutnya, PT MPI melakukan PHK terhadap seorang janda dengan tuduhan asusila tersebut tapi tidak bisa dibuktikan kebenarannya oleh perusahaan. Efek dominonya panjang, selain mencemarkan nama baik mantan karyawan ini, bagi yang percaya maka akan ada sanksi sosial yang harus ia terima, dan lagi pemecatan yang dilakukan tidak sesuai dengan mekanisme yang sudah diatur.

“Perusahaan ini tidak paham aturan. Mereka menggunakan asumsi sepihak saja sehingga seenaknya memecat orang,” ujarnya.

Bahkan, mirisnya perihal pengobatan kecelakaan kerja maupun BPJS Kesehatan. Karena fasilitas kesehatan kurang mendukung karyawan yang cedera di lapangan harus dirujuk atau berobat ke klinik atau puskesmas yang memadai, PT MPI menanggung biaya itu dan tidak juga mengembalikan biaya pengobatan sebesar Rp 2 juta yang dikeluarkan karyawannya.

Tak hanya itu, karyawati yang sedang datang bulan atau menstruasi tetap harus bekerja dan tidak cuti jika tidak dibuktikan lewat pemeriksaan. Ini tentu sangat menyalahi aturan khusus Undang-undang Cipta Kerja.

Dipaparkannya, PP 35/2021 pada Bab V, khusus mengatur pemutusan hubungan kerja, dengan rincian:  

Pasal 36 mengenai berbagai alasan yang mendasari terjadinya PHK. Alasan PHK mendasari ditentukannya penghitungan hak akibat PHK yang bisa didapatkan oleh pekerja.

Pasal 37 sampai dengan Pasal 39 mengenai Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja sejak tahap pemberitahuan PHK disampaikan hingga proses PHK di dalam perusahaan dijalankan. Lebih lanjut bila PHK tidak mencapai kesepakatan tahap berikutnya dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 40 sampai dengan Pasal 59 mengenai Hak Akibat Pemutusan Hubungan Kerja yakni berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan uang pisah. Penghitungannya berdasarkan alasan/dasar dijatuhkannya PHK.

“Alasan-alasan ini kan tidak mereka gunakan, tidak memakai aturan juga, padahal dalam undang-undang ketenagakerjaan sudah jelas runtutannya.” paparnya.(ADV/jk)

Editor

Menyajikan berita yang aktual dan terpercaya

Related Articles

Back to top button
error: Content is protected !!