Masalah Plasma Hingga Pemolisian Petani, Basti: Pemerintah Harus Memanggil Perusahaan
JEJAKKHATULISTIWA.CO.ID, KUTIM – Melalui kebijakan percepatan pengembangan perkebunan pada tahun 1980-an, Pemerintah Indonesia bersama lembaga keuangan dunia sebagai kreditur membuat program perkebunan inti rakyat demi mendorong korporasi dalam membangun perkebunan kelapa sawit untuk masyarakat maupun para transmigran.
Dari program tersebut, melahirkan sistem kemitraan inti-plasma. Dengan skema perusahaan mengakui masyarakat menjadi mitranya guna mengurus lahan menjadi perkebunan sawit, dan pengaturan lain yang diatur dalam perjanjian plasma.
Seiring berjalan waktu, perusahaan tandan buah segar (TBS) itu semakin banyak keberadaannya di berbagai belahan pulau Indonesia. Termasuk Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Provinsi Kalimantan Timur.
Berdasarkan laporan Dinas Perkebunan Kutim per Juni 2020 sebanyak 147 perusahaan sawit berada di atas lahan seluas 459.526 hektare. Dari ratusan perusahaan tersebut berbagai masalah kerap kali muncul diantaranya; korporasi tidak tepat janji, kepatuhan regulasi terutama dalam memastikan penyediaan plasma.
Menanggapi hal itu, Anggota DPRD Kutim Komisi A, Basti Sangga Langi, mengungkapkan perusahaan perkebunan kelapa sawit kebanyakan tidak transparan mengelola plasma. Terutama soal luasan lahan yang telah ditanami sawit, dan penentuan harga serta tonase TBS.
” … dan sistem pembagiannya itu tidak pernah transparan juga akhirnya petani dirugikan. Harusnya perusahaan itu terbuka tentang plasma,” ungkapnya.
Belum lama ini pihaknya melaksanakan sidak ke salah satu perusahaan, dan menemukan praktik tersebut terjadi kepada sekelompok petani sehingga kerugian pun menjadi beban rakyat.
Selain itu, ditanya soal masalah lainnya yang lagi-lagi turut menimpa mereka yakni aksi pemolisian dari perusahaan, misalnya. Ia tegas menjawab, “jangan mentang-mentang di belakang perusahaan ada orang besar. Pemerintah harus memanggil perusahaan tersebut (yang memolisikan petani sawit),” tegasnya.
Melansir BBC.Com, melalui Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) beberapa tahun sebelumnya mencatat, konflik perkebunan sawit menduduki urutan pertama ketimbang sektor tambang, infrastruktur, kehutanan pesisir, fasilitas militer, dan pertanian.
Dalam laporan akhir tahun KPA 2021 bertajuk “Penggusuran Berskala Nasional”, lembaga ini mencatat ada 59 kasus perkebunan sawit dari 207 konflik agraria lainnya. Berdasarkan laporan ini, setidaknya terjadi satu konflik setiap minggu terkait perkebunan sawit di seluruh Indonesia. (ADV/DPRD/JK)