AdvetorialBudayaKutimTerkiniWisata dan Kuliner

Mengenal Lebih Dekat Ritual Lom Plai, Budaya Kearifan Lokal Yang Mendunia

JEJAKKHATULISTIWA.CO.ID, KUTIM-
Daya tarik Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Kaltim menyimpan banyak keindahan alam dan budayanya. Lom Plai ritual adat ini mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga para wisatawan atau traveler.
Lom Plai merupakan salah satu Kebudayaan Suku Dayak Wehea, yang digelar setiap tahunnya setelah selesai panen padi oleh masyarakat yang mendiami daerah diwilayah sungai Wehea dan Telen.

Ritual Lom Plai menyimpan kearifan lokal, salah satunya adalah memperlakukan tumbuhan, khususnya tanaman padi sejajar dengan manusia. Dalam bahasa Kutai, Lom Plai sama artinya dengan Erau (Pesta).

Ledjie Taq Kepala Adat Desa Nehas Liah Bing ( Slabing) mengatakan Lom Plai artinya mengantisipasi agar tidak sakit atau selalu sehat, selamat dan panjang umur atau usaha penyembuhan terhadap orang sakit

“Padi pantas dipestakan karna tanaman ini konon jelmaan manusia atau yang kita kenal dengan sebutan Dewi Padi yang mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan masyarakat dari kelaparan,” katanya.

Menurut Ledjie Taq, kegiatan Lom Plai ditandai dengan pemukulan gong (Ngesea Egung) selesai suara itupun diiringi bunyi tabuhan Tewung prosesi itu bermakna mengabarkan kepada para Dewa Penjaga dan Pelindung Kampung serta Roh Leluhur. Ngesea Egung juga bertujuan memanggil semangat padi.

Menurut cerita rakyat yang melegenda pada jaman dahulu terjadi bencana kekeringan yang membuat semua tanaman yang dibudidayakan manusia mengalami bencana kematian. Hal itu menyebabkan masyarakat kelaparan hingga meninggal dunia. Ketika terjadi bencana kelaparan di satu desa hiduplah seorang Hapui Ledoh (Raja perempuan/ratu) yang bernama Diang Yung.

Ratu Diang Yung menyaksikan terjadinya bencana kelaparan dan menyebabkan dirinya risau. Dalam kerisauan hatinya Ratu Diang Yung bermimpi didatangi oleh Dohton Tenyei atau Tuhan yang maha kuasa menurut kepercayaan Suku Dayak Wehea. Didalam mimpinya ia diberi amanah untuk rela dan tulus hati mengorbankan sang putri tunggalnya Long Diang Yung demi menyelamatkan masyarakat.

Long Diang Yung adalah putri tunggal yang kelak akan menjadi pewaris kerajaan. Diang Yung tak ingin mengambil keputusan sendiri Hapui Ledoh memanggil tetua adat dan pemuka untuk menentukan pilihan terbesar dalam hidupnya. Dalam rapat yang diputuskan bahwa masyarakat harus menjadi prioritas artinya ratu harus merelakan putrinya untuk dikorbankan. Sebelum acara pengorbanan dimulai masyarakat pun diminta untuk bersumpah oleh ratu.

Orang harus menyayangi padi seperti saya menyayangi anak saya, padi adalah jelmaan anak saya harus di Erau kan (Lom/pesta), bagi yang taat pada sumpah akan selamat, panjang umur, sejahtera, dan makmur. Serta bagi yang melanggarnya akan celaka dalam hidupnya. Usai Hapui Diang Yung menyembelih Long Diang Yung hujan turun dengan derasnya kemudian Long Diang Yung menjelma menjadi serumpun padi yang tumbuh dan meninggi serta mengeluarkan butiran padi yang menguning. Padi itu dinamakan Plai Long Diang Yung.

Ritual Tahunan yang masuk kalender Dinas Pariwisata (Dispar) Kutim, belakangan tidak hanya menarik wisatawan lokal saja untuk datang menyaksikan ritual Lom Plai namun mampu menarik wisatawan Mancanegara. Kepala Dispar Kutim Jamri melalui Kasi Promosi Budaya dan Pariwisata Dispar Kutim, Yunitha Ronting menuturkan meskipun masih dalam masa pandemi kegiatan Lom Plai masih berlangsung namun membatasi jumlah pengunjung yang hadir.

“Tetap ada namun ada pembatasan dan harus dengan penerapan protokol kesehatan. Ini acara rutin Kutim ini kaya akan budaya serta potensi lainnya jadi memang sudah selayaknya potensi ini terus kita promosikan,” tutupnya.(adv/jk)

Editor

Menyajikan berita yang aktual dan terpercaya

Related Articles

Back to top button
error: Content is protected !!