AdvetorialKutai TimurParlementerTerkini

PT MPI Diduga Melanggar Aturan Ketenagakerjaan, Begini Respons DPRD Kutim

JEJAKKHATULISTIWA.CO.ID, Kutai Timur – Selama empat jam lebih rapat dengar pendapat antara Serikat Pekerja Borneo (SPB) dengan PT Multi Pasifik Internasional (PT MPI) pada Senin (14/11), siang, di Ruang Hearing, Kantor DPRD Kutim, berlangsung tegang. Ketegangan iu terjadi saat pembahasan bersama mengenai banyaknya masalah ketenagakerjaan yang dihadapi para pekerja di PT MPI.

Ketua SPB Kabupaten Kutai Timur, Asnawi, mengungkapkan PT MPI belum benar-benar menjalankan peraturan perundang-undangan yang meliputi: Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian waktu Tertentu, Ahli Daya, Waktu Kerja, Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan dan Peraturan Daerah Kutai Timur Nomor 1 Tahun 2022 tentang Ketenagakerjaan.

Pada kesempatan itu masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) salah satu karyawan PT MPI bernama Misfalah, menjadi perdebatan tersendiri, karena perusahaan dianggap belum menjalankan tahapan sepatutnya saat melakukan pengakhiran hubungan kerja. Menanggapi hal itu, Ketua Komisi B DPRD Kutim, Hepnie Armansyah, mengatakan harus ada pengawasan terhadap setiap dugaan pelanggaran yang dilakukan perusahaan dalam hal ini PT MPI.

“Kalau saya terus terang (saat) laporan monitoring dan evaluasi sudah laporkan ke pimpinan, memang yang baru berangkat ke tahap pansus (Panitia Khusus, Red) baru PT WIN, (sedangkan) MPI dan CPS belum,” tambahnya.

Disamping itu, Menurut Kepala Bidang HUJ Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), Ramli, permasalahan tenaga kerja terdapat dua hal diantaranya perkara yang muncul karena terjadi pelanggaran hak normatif pekerja, kemudian timbulnya suatu masalah diakibatkan perbedaan pendapat, atau perselisihan hubungan industrial.

“Dari pertemuan masalah yang muncul pada hari ini, yang saya tangkap beberapa poin terkait dengan masalah perselisihan,” bebernya.

Ia menambahkan bahwa andasan aturan saat mengatasi kasus tenaga kerja pada sebuah perusahaan melalui mediasi, yang dilakukan oleh mediator telah diatur pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Selanjutnya berkenaan dengan pelanggaran hak pekerja merupakan kewenangan pegawai pengawas ketenagakerjaan, atau pengawas terkait.

Lebih jauh dijelaskannya, prosedur menjalankan PHK terdiri dari sejumlah tahapan yakni pekerja harus terlebih dahulu mendapatkan surat pemberitahuan tertulis minimal 14 hari secara patut dan sah, selanjutnya pekerja yang menerima surat tersebut diberikan kesempatan paling lambat tujuh hari, untuk menjawab apakah menerima atau tidak tentang keputusan PHK.

“Apabila terjadi perbedaan pendapat maka dilakukan bipartit proses musyawarah mufakat antara kedua belah pihak, dan apabila juga tidak tercapai proses mufakatnya maka kedua belah pihak membuat risalah bipartit,” jelasnya.

Diungkapkan Ramli tahapan demikian merupakan modal dasar, untuk melakukan pencatatan perselisihan ke dinas terkait sebagai instansi teknis pemerintahan yang menangani perselisihan industrial.(ADV/arf)

Editor

Menyajikan berita yang aktual dan terpercaya

Related Articles

Back to top button
error: Content is protected !!