LingkunganTerkini

Dianggap Tidak Adil, Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim Tolak Revisi RTRWP Kaltim

JEJAKKHATULISTIWA.CO.ID, Balikpapan – Pada Focus Group Discussion (FGD) Revisi Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) di Balikpapan, Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur (Kaltim) yang terdiri dari WALHI, Jatam, Pokja 30, dan AMAN Kaltim mengutarakan kekecewaannya terhadap draf rancangan perda RTRWP yang saat ini lagi dibahas. Sejak tahun 2016 Koalisi Masyarakat Kalimantan Timur telah mengkritisi Peraturan Daerah (Perda) RTRWP Kaltim Nomor 1 Tahun 2016 sebelum disahkan, tetapi tidak didengarkan.

Setelah lima tahun berlalu, hal ini kembali terulang dalam rangkaian peninjauan atas RTRWP Kaltim. Bahkan parahnya, draf rancangan Perda revisi ini di buat secara instan, dan tidak melibatkan seluruh masyarakat Kaltim dalam perumusan hingga pembahasannya. Menanggapi soal itu, Koordinator Pokja 30 Kaltim, Buyung Marajo, menilai bahwa rancangan Raperda RTRWP Kaltim cacat prosedural maupun subtansial. Sebab penyusunanannya masih menggunakan konsideran Undang-Undang Cipta Kerja pada Raperda RTRWP tersebut, dengan kata lain sudah melawan atau membangkang dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

“Mandat Putusan MK 91 adalah tidak boleh membuat regulasi turunan dari UU Cipta Kerja sampai adanya perbaikan,” ungkap Buyung, sapaan karibnya.
Terpisah, menurut Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Kaltim, Saiduan Nyuk, mengungkapkan ingin melibatkan publik, masyarakat, tapi waktu yang diberikan tidak layak beserta kelengkapan dokumennya. Karena undangan mengikuti FGD itu baru diterima pihaknya pada Minggu, 2 Oktober 2022.

“Dan kami tidak diberikan dokumen KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Red) artinya kami dipaksa mempelajari, mengerti, dan memahami 501 halaman draf Raperda revisi RTRWP Kaltim dalam jangka waktu 4 hari,” ketusnya.

Padahal yang dibahas, sambungnya, berkaitan langsung dengan penataan ruang hidup, dan wilayah kelola masyarakat Kaltim kedepan. Dimana AMAN Kaltim sendiri juga harus mempercakapkannya dengan 72 komunitas anggota masyarakat adat, yang tersebar di tujuh kabupaten Kaltim. Kondisi itu pun menunjukkan bahwa tim perumus tidak melakukan pelibatan aktif, dari publik sejak perumusan hingga pembahasan.
Sementara itu, diungkapkan Dinamisator Jatam Kaltim, Eta, bahwa secara substansi Raperda ini disusun dengan kajian yang tidak menggunakan pendekatan prinsip keadilan ruang. Hal ini terbukti dari pembagian pola ruang yang tidak proporsional antara fungsi lindung, dan fungsi budidaya.

Dijelaskan Eta, Raperda RTRWP yang mengalokasikan hanya dua juta lebih untuk fungsi lindung, sedangkan untuk fungsi budidaya sebesar 12 juta lebih. Jika melihat lampiran peta kawasan pertambangan mineral, dan batubara hampir seluruh wilayah Provinsi Kaltim dialokasikan untuk pertambangan.

“Alih-alih menghitung kemampuan ruang Kaltim secara proporsional Raperda berencana menguras habis kemampuan daya dukung, dan daya tampung lingkungan du Kaltim,” jelasnya.

Di balik itu apabila ditelusuri lebih jauh bahkan terjadi penyusutan kawasan lindung Provinsi Kaltim, yang signifikan dibandingkan dengan sesudah dialokasikan pada Perda RTRWP sebelumnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur WALHI Kaltim, Yohana Tiko, mengungkapkan kekhawatirannya bila pembahasan Raperda RTRWP Kaltim itu tetap dipaksakan sampai pengesahan maka dalam kurun waktu lima tahun mendatang akan menjadi senjata pemusnah bagi wilayah kelola rakyat dan ruang hidup.

“Pembagian pola ruang yang dominan pada fungsi budidaya di Provinsi Kaltim akan menggiring provinsi ini menuju kehancuran sosio-ekologis kedepan,” tandas Tiko, panggilan pendeknya.

Draf revisi rancangan Perda RTRWP ini justru bertolak belakang, kata Tiko, dengan komitmen Presiden Joko Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi perubahan iklim, Paris tujuh tahun yang lalu terkait janji Indonesia untuk mengawal agar suhu global tidak melebihi dari 1,5 derajat celcius.

Sementara problem di Kaltim adalah provinsi ini, yang paling tinggi dalam pelepasan karbon makanya tidak heran di tahun 2021 menduduki peringkat pertama tingginya suhu di kisaran 38,4 derajat celsius. Kondisi itu diyakini Walhi Kaltim diakibatkan pembukaan lahan secara masif. Oleh sebab itu pula tidak mengherankan, jika sebanyam 60 persen bencana yang terjadi di kaltim adalah banjir. Bencana alam, lanjut Tiko, merupakan akumulasi dari tidak adanya keadilan ruang hidup dalam peruntukan tata ruang yang sebelumnya di kaltim.
Atas dasar itu, melalui rilis yang dikirimkan, Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim menyatakan menolak revisi rancangan Perda RTRWP Kaltim 2022-2042 yang disampaikan melalui FGD pada hari Kamis, 6 Oktober 2022 di Balikpapn. Dan memberikan catatan serius kepada Pemerintah serta DPRD Provinsi Kaltim, untuk menghentikan seluruh proses juga pembahasan revisi ini hingga adanya pelibatan aktif dari seluruh masyarakat yang menjadi korban dari adanya RTRWP Kaltim mulai dari perumusan dan pembahasannya. (ARF)

Editor

Menyajikan berita yang aktual dan terpercaya

Related Articles

Back to top button
error: Content is protected !!